Oleh: Moh. Dahlan
Cibiuk, sebuah daerah yang berada di Kabupaten Garut , menurut data yang diperoleh dari Kantor Kecamatan Cibiuk, secara demografi Cibiuk berada di kaki gunung Haruman, beriklim sejuk serta sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani, dengan jumlah penduduknya 35.728 jiwa.
Dalam bidang pendidikannya, Cibiuk tak ketinggalan jauh dengan Kecamatan lainya yang ada di Kabupaten Garut, cukup komplit mulai dari Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas, atau kejuruan. Begitupun dalam bidang sosial keagamaan, mayoritas masyarakat Cibiuk menganut agama Islam, dengan ditandai dengan berdirinya Masjid dan surau dikampung-kampung.
Penulis dalam kajian ini mencoba menganalisis secara obyektif bagaimana kehidupan beragama di Cibiuk, yang mana dekade terakhir ini mengalami perubahan, baik dalam segi kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini untuk menakar kembali kehidupan beragama cibiuk tempo dulu dengan cibiuk sekarang yang sudah terjamah modernisme disemua lini kehidupan masyarakatnya.
Nama Cibiuk menurut sumber yang dapat dipercaya mengandung makna filosofis yang amat dalam, kalaulah ditafsirkan Cibiuk terdiri dari dua suku kata, Ci adalah air dan Biuk adalah bau, jadi Cibiuk mempunyai arti air yang bau. Sekilas makna tersebut memberikan gambaran bahwa air yang ada di wilayah Cibiuk tidak layak dikonsumsi karena baunya tidak enak untuk dihirup, namun arti itu bukan kesana arahnya, namun mengandung makna anonim, yang dimaksud disini adalah Cibiuk sebuah daerah yang harus terhindar dari perbuatan yang buruk, baik dimensinya menurut norma masyarakat maupun dengan aturan-aturan agama (syariat Islam).
Dahulu Cibiuk mempunyai peran strategis dalam proses islamisasi wilayah-wilayah sekitarnya, karena Cibiuk dijadikan sentral penyebaran Agama Islam oleh waliyulloh Syeh Jafar Siddiq. Beliau satu generasi dengan Syeh Muyhi yang menyebarkan Islam di daerah Tasik Selatan (Pamijahan), bukti-buki otentik bisa dilihat dari berbagai petilasan beliau serta makamnya di sebelah barat kecamatan tepatnya di Pasir Pureut Desa Cipareuan.
Namun kini, seiring dengan perkembangan jaman yang begitu pesat, modernisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dengan masyrakat Cibiuk, membawa dampak yang kurang bersinergi dengan budaya religius yang telah lama tertanam. Terjadi akulturasi budaya yang salah kaprah dan cenderung pragmatis yang membahayakan sendi-sendi kehidupan beragama dan humanisme . Budaya gotongroyong, empati dan kepedulian kepada sesama, kini berubah menjadi individualistik dan skeptis. Penyakit masyarakat sudah merambah tiap-tiap kampung, yang mana orang tua dulu menganggap bahwa kejadian itu terjadi di kota-kota besar saja. Padahal kalau menilik dari segi kuantitasnya, kini bermunculan sarana pendidikan keagamaan yang hampir merata ditiap-tiap kampung, seperti Madrasah Diniyah, Pondok Pesantren dan Majlis Ta’lim.
Dalam benak penulis muncul berbagai pertanyaan apa yang salah dalam hal ini, pemimpinkah yang tidak mempunyai kepekaan sosial, para pemuka agama kah yang sibuk mencari popularitas bak selebriti, gejala globalisasikah atau emang tanda-tanda akhir zaman sebagaimana yang digambarkan dalam hadits-hadit Rosulullah.
Gonjang Ganjing pemahaman Teologi baru
Ada yang menarik untuk diteliti lebih mendalam tentang apa yang terjadi sekarang di masyarakat Cibiuk, yaitu bermunculannya faham-faham yang dirasakan nyeleneh ( kontroversi) buat sebagian besar masyarakat Cibiuk. Menurut penelaahan penulis faham-faham tersebut muncul yang tak terlepas dari apa yang diperjuangkan oleh Sukarmadji Kartosuwiryo ( pimpinan Darul Islam), yaitu ingin menjadikan Indonesia menjadi negara Islam Indonesia. Paham tersebut sampai sekarang masih dipegang teguh oleh sebagian pengikutnya, maka lewat tangan-tangan mereka lah banyak dari anggota organisasi Islam yang ada di Cibiuk, seperti Muhammadiyah, NU dan Persis yang terjerumus ikut kedalam ajakan mereka untuk mengikrarkan diri sebagai neo Darul Islam atau Darul Islam jilid II, setelah perjuangan Darul Islam yang dulu gagal memperjuangkan berdirinya NII. Untuk mempresure calon anggota, Mereka dijejali berbagai doktrin tentang teologi keislaman, jihad dan kemasyarakatan. Dimana yang dijadikan literatur dari ajaran-ajaran DI yang dulu. Mereka menolak dengan tegas pemahaman-pemahaman tentang ke Islaman yang di amalkan oleh organisasi Islam yang ada, menurutnya ajaran-ajarannya sudah melenceng jauh dari sunnah Rosululloh SAW, karena organisasi yang ada tidak memperjuangkan terbentuknya negara Islam, kedekatannya dengan pemerintah serta adanya kompromi dengan orang-orang kafir.
Gonjang-ganjing perbedaan reinterpretasi tentang syariah antara organisasi kemasyarakatan yang ada dengan sekelompok kecil yang mengklaim sebagai neo Darul Islam telah menimbulkan ekses yang kurang baik bagi perkembangan keagamaan di Cibiuk. Pertama, generasi muda yang semula bebas bergaul dengan siap saja tanpa memandang status dan organisasi, harus terkungkung oleh dogmatisme yang difatwakan oleh kelompoknya. Maka yang terjadi mereka termarjinalisasikan dari pergulan lingkungannya dan dia menjadi ekslusif dari dunia luar yang dulu pernah jadi bagian kehidupannya bahkan banyak kasus yang terjadi hubungan keluarga menjadi retak disebabkan oleh perbedaan prinsif itu . Kedua, terbengkalainya sasaran dakwah. Mestinya para tokoh masyarakat Cibiukharus paham betul apa yang terjadi di dunia modern ini, tanpa disadari dunia modern telah merasuk jiwa-jiwa masyarakat Cibiuk pada umunya dan disayangkannya yang banyak diserap adalah dari sisi-sisi negatifnya. Bukan hal yang asing lagi khususnya didunia remaja dekadensi moral, pergaulan bebas, narkoba, minum-minuman keras dll, telah merata hampir disetiap kampung, kalau tanpa sentuhan dakwah maka lima tahun atau sepuluh tahun yang akan datang Cibiuk terkenal dengan dunia kriminalitasnya bukan dunia agamaisnya. Ini tentunya tugas berat terutama bagi para tokoh ulama dan masyarakat, bila dikedepankan egoisme dan perbedaan prinsif, maka tak pelak kita akan memonton generasi-generasi muslim yang bobrok.
Sangat disayangkan bila dulu Cibiuk sangat terkenal dengan lahirnya ulama-ulama besar, kini terkenal dengan Sambalnya, yang bila ditelaah sambal mempunyai nilai folosofis yang tinggi. Eyang Fatimah sebagai keturunan dari Syeh Jafar Sidiq membuat sambal bukan hanya untuk sebagai pelengkap makan, tapi dibalik itu sambal terdiri dari bebagai macam rempah rempah bila dijadikan satu dan diulek akan membawa kenikmatan tersendiri bagi orang yang makan. Begitu pun dengan masyarakat Cibiuk yang terdiri dari bebagai sifat dan watak yang berbeda harus disatukan dalam ukhuwah Islamiyah akan menjadi kekuatan dalam menggapai indahnya mardho tillah. Wallohu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar